Jumat, 25 November 2022

My randomness (part1)

 Bahkan, dari kejauhan pun bunga-bunga itu tak sabar untuk menjadi tempat persinggahannya. Tentunya bukan untuk waktu yang sebentar. Banyak yang berkhayal menjadi rumah terakhirnya berlabuh. 

"Apalah kekurangan dari sosoknya. Ganteng udah, pinter iya, pemikirannya maju, duh kurang apa lagi coba," kata Rima dalam hati. Pria yang menarik perhatiannya itu menjadi rebutan banyak orang. Siapapun yang melihatnya pasti terpana. Melihatnya dari kejauhan saja jantungnya berdegup kencang. Wajahnya memerah. Lidahnya kelu tak bisa berkata-kata. 

Laki-laki yang berkulit sawo matang itu membuatnya tak berkutik. Tapi dia bisa apa. Gadis yang berusia seperempat abad lebih itu cukup tahu diri. Dia hanya berani mengagumi sang kumbang melalui jarak. Jarak yang diciptakan semesta.  

"Jika memang kita berjodoh, kelak kita akan dipersatukan. Jika tidak, berarti bukan dia yang terbaik. Aku percaya, kita akan dipertemukan dengan orang yang sesuai dengan kita,"ucap Rima tegas dengan meneguhkan hatinya. 

Gadis yang berasal dari sebuah desa terpecil itu tak berani bermimpi. Terlebih berekspektasi. Berulang kali ditampar keadaan membuatnya berpikir logis dan realistis. Melalui analisa singkatnya, dia cukup memahami pria yang ditaksirnya itu diidamkan banyak para perempuan.  

Baginya, berkawan dengan realita adalah hal yang sebuah kewajiban. Perempuan berambut hitam itu lelah melawan gejolak hati yang selalu menginginkan kesempurnaan. Segala keindahan dan segala jalan mulus dalam menjalani hidup. Dari situ dia belajar menerima. Ya, menerima takdir. Tentunya dengan tidak memaksakan apapun. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar