Selasa, 24 Agustus 2021

Ikut Seminar AJI Jurnalis Bermedsos: Etika, Manfaat dan Risikonya Dapat Apa?


 


Holaaaa folks! Yaaa, kali ini aku bakal sharing ilmu yang aku dapet dari seminar AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang aku ikutin. Judulnya udah aku taruh di atas. Seminar ini dihelat pada Selasa, 24 Agustus 2021 pukul 10.00 WIB sampe 12.30 WIB via Zoom.

Seminar daring itu mengundang sejumlah speaker yang ketjeh abis. Antara lain Abdul Manan, Ketua Majelis Etik Nasional AJI Indonesia, Dewi Safitri, S&P Specialist CNN Indonesia dan Fajriani Langgeng, Direktur LBH Pers Makassar. Seminar yang berlangsung di zoom itu dipandu oleh Prawira Maulana, Ketua AJI Palembang.

Wokkeee, kenapa sih kok tertarik ikut ini? Ya, pertama kali aku lihat posternya aku udah tertarik dengan topik yang akan dibahas. Selain itu, sebagai pengikut setia AJI Indinesia di Instagram haram hukumnya gak ikut webinar apa pun yang diadakan AJI, wkwkwk.

Nah, di seminar ini aku belajar banyak hal ya tentang bermedsos. FYI, saat ini aku bekerja sebagai jurnalis. Menurutku jurnalis dan medsos itu saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kita sering menggunakan medsos sebagai media untuk gali ide untuk liputan dan nulis berita.

Di sisi lain, di balik itu ada masalah yang mengintai. Salah satunya jika jurnalis mengeluarkan unek-uneknya akan isu tertentu di sosmednya. Berikut aku bahas di bawah ini ya.

Dari penjelasanan mas Manan, kita boleh mengekspresikan segala keluh kesal kita atau kritik di medsos tapi dengan penuh kehati-hatian. Tepatnya dengan tetap mempertimbangkan profesionalisme. Jika kita terlalu resisten terhadap kelompok atau orang tertentu, hal tersebut justru merugikan bagi diri sendiri. Sometimes, jurnalis butuh konfirmasi dari beberapa pihak. Jangan sampai karena cuitan kita, akses menuju ke narasumber terbatasi karena kecerobohan kita.

Lanjut ke pemaparan mbak Dewi. Mbak Dewi menggaris bawahi jika informasi apa pun yang kita tulis di media sosial bukanlah untuk konsumsi pribadi saja. Melainkan untuk ‘publik’. Di sini terjadi bias tiga identitas. Adalah sebagai jurnalis, media tempat jurnalis bekerja, dan jurnalis itu sebagai sosok individu yang tidak terafiliasi dengan pekerjaannya.

Sebab, publik tidak mau membedakan ketiga identitas tersebut. Mereka mencampur ketiga entitas di atas menjadi satu. Mereka saling mengaitkan dan menghubungkan satu sama lain. Sehingga pembeda atas profesional dan personal kabur. Tak heran, integritas dan independensi jurnalis selalu dipertanyakan atas segala cuitannya.

Misal, ada jurnalis A memposting kecintaannya kepada anime One Piece. Jika suatu saat tulisan jurnalis A itu bermasalah publik akan menganggap jika penyebabnya adalah jurnalis tersebut penggemar anime. Sehingga pantas saja tulisannya tidak berkualitas dan tidak memiliki integritas.

Ini tidak hanya berpengaruh individu itu sendiri. Juga media tempat jurnalis A bernaung. Mbak Dewi pun membagi tips agar aman dan selamat saat berselancar di medsos.

Pertama, Ingatlah akan Reputasi, Reputasi dan Reputasi. Hindari lah keributan yang tak perlu. Lebih baik mencegah dari pada mengobati.

Kedua, bersikaplah profesional dan tidak memihak siapa pun. Sehingga, hindarilah topik SARA, kontroversi politik, fraud, seksual, isu kepegawaian, dan endorsmen komersial. Yang perlu diingat, layarmu adalah ekspresimu. Sekali dipublish tak bisa dihapus. Masih ada jejak digital yang terekam.

Pasalnya, banyak kasus jurnalis yang dipecat hingga dipenjarakan akibat cuitannya yang dianggap terlalu frontal. Bahkan dituding kontra pun pro pada pihak tertentu. Begitu bahayanya menggunakan media sosial jika tidak bijak.  

Lalu, bagaimana jika ingin berekspresi atas tidak puasnya terhadap sesuatu? Misal pada kinerja pemerintah?

Dalam hal ini mas Manan menanggapi dengan cara memproduksi karya jurnalistik. Atau membagikan berita bermutu dari media lain atas isu tersebut. Jika ingin menambahkan komentar, haruslah bernada netral dan tidak memihak. Sehingga tidak terlalu frontal menunjukkan posisinya.

Sedangkan, mbak Dewi menyebut profesi jurnalis sendiri itu sudah beresiko. Dengan tulisan kita sudah banyak musuh kita. Jadi jangan ditambah dengan kecerobohan kita bermedsos yang mampu menjerumuskan kita sendiri dengan mudah diserang pihak yang tidak suka dengan kita. Jadi tetap bijak ya gaes dalam bermedsos, khusunya bagi para jurnalis seperti kita. 

 

Minggu, 22 Agustus 2021

Tugas Opini Reporting 2 : Hujatan Netizen Milenial di Medsos, Kritis atau Sensasi


 

Hujatan Netizen Milenial di Medsos, Kritis atau Sensasi?

Ilustrasi kritik di media sosial (Foto: google)


Pada awal Juni 2021 lalu, jagat dunia maya gempar. Sinetron Zahra yang tayang di Indonesiar ramai dibicarakan publik. Tagar Zahra pun sempat menjadi topik populer di media sosial Twitter dengan ribuan cuitan. Netizen menyoroti adegan ranjang yang dilakukan oleh kedua pemain utamanya. Adalah Tirta dan Zahra.

Dikisahkan Tirta adalah pemilik kebun teh yang menjadi bos ayah Zahra. Karena memiliki kekayaan yang melimpah, Tirta memiliki dua orang istri. Yaitu Ratu dan Putri. Suatu hari, ayah Zahra terpaksa utang ke Tirta. Lantaran tidak bisa membayar, Tirta meminta ayah Zahra melunasi utangnya dengan menikahkannya dengan Zahra yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Zahra awalnya menolak. Namun, karena tidak memiliki pilihan lain Zahra terpaksa menerima opsi tersebut. Akhirnya Zahra menjadi istri ketiga Zahra. Tirta diperankan oleh Panji Saputra yang dalam dunia nyata berusia 39 tahun. Sedangkan Zahra dimainkan Lea Chiarachel Forneaux, remaja blasteran Indonesia-Prancis (14 tahun).

Mengetahui fakta ini warganet murka. Adegan ranjang yang Tirta dan Zahra lakukan dalam sinetron dianggap tidak etis. Bahkan, para peselancar internet itu menganggap Zahra mengkampanyekan pedofil dan poligami. Akibatnya netizen membanjiri kolom komentar kanal Youtube Indosiar dengan hujatan.

Hal serupa ditemuka di media sosial berlogo burung berkicau, di sana penuh aduan para warganet. Mereka meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turun tangan. Tak berselang lama, KPI memanggil pihak Indosiar. Pemeran Zahra akhirnya diganti dengan aktris yang usianya di atas 18 tahun. 

Yang menjadi pertanyaan, apakah hujatan warganet tersebut merupakan sebuah bukti nalar kritis para milenial? Ataukah itu hanyalah sebuah sensasi? Kenapa milenial yang disinggung? Berdasarkan riset dari The Millenial Generation Research Review, milenial adalah generasi yang lahir pada tahun 1980-1999. Generasi ini lahir pada masa teknologi tumbuh subur di Indonesia. Pemanfaat teknologi terbiasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ketergantungan pada ‘gadget’ dianalogikan seperti bernafas bagi mereka.

 

Generasi Terbuka, Bebas, Kritis, dan Berani

Lantaran paparan teknologi intensitasnya lebih tinggi jika dibandingkan generasi pendahulunya, misalnya saja ‘baby boomer’ yang lahir pada era setelah perang dunia kedua (1946-1964) hal ini berpengaruh pada pola pikir milenial. Mereka memiliki karakter yang disebut boundary less alias tak mengenal batas. Akibatnya generasi ini cenderung terbuka, bebas, kritis, berani, dan toleran. Tak hanya itu nilai positif lainnya yang mereka miliki adalah perasaan ingin terhubung, kreatif, dan aktif memakai teknologi.

Kembali ke hujatan yang mereka lontarkan di media sosial (medsos), menurut saya itu bukanlah sensasi belaka. Melainkan contoh nyata kekritisan milenial zaman now. Bukan tanpa alasan, jika kita menengok ke belakang pada tahun 2002 ada sinetron dengan tema serupa. Judulnya ‘pernikahan dini’ yang diperankan penyanyi Agnez Mo yang kala itu masih 15 tahun dan Sahrul Gunawan berusia 25 tahun.

Dulu, media sosial penggunaannya belum semasif sekarang. Sehingga belum ada wadah yang tepat untuk menampung luapan ekspresi dan aspirasi para netizen. Berbeda dengan sekarang. Terlebih generasi ‘baby boomer’ menganut ideologi konservatif yang tidak menyukai kritik dan konflik. Sehingga mungkin mereka memilih diam. Atau mungkin menyelesaikan masalah secara diplomatis.

Saya sebut milenial kritis lantaran berani dan tanggap dalam menyikapi fenomena yang terjadi saat ini. Netizen merasa bebas berekspresi dengan menuliskan segala pemikiran mereka. Mereka mulai melek dan tanggap, warganet pikirannya sudah terbuka. Mereka tidak bisa menoleransi poligami dan pedofil, kedua isu yang masih marak di negeri ini.

Akhirnya mereka memprotes dengan menyuarakan suaranya melalui platform medsos agar pihak berwenang pada bidang penyiaran menanggapi. Bak gayung bersambut, KPI sigap dan bertindak cepat agar bola panas yang bergulir tidak sampai meledak. Langkah milenial ini didengar. Satu perubahan membangun pun berhasil terwujud.

Jadi, aksi netizen di atas merupakan buah dari berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang ditemukan oleh Richard W Paul. Dalam bukunya yang berjudul Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, berpikir kritis adalah proses disiplin-intelektual yang menuntut individu terampil dan aktif dalam berbagai aspek. Mulai dari memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi informasi berdasarkan observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, hingga komunikasi yang dilakukan.

Warganet menganalisis, lalu mengevaluasi nilai pedofil dan poligami dalam sinetron Zahra berdasarkan observasi dan pengalaman, kemudian mereka mengambil tindakan dengan menyatakan ketidaksetujuannya.