Kontroversi Kasus Kekerasan yang Dialami
Nurhadi, Jurnalis Tempo saat liputan berkaitan kasus korupsi, tepatnya suap
yang dilakukan oleh terduga Angin Prayitno Aji, Direktur Pemeriksaan Ditjen
Pajak Kemenkeu.
Ada dua pendapat yang menyatakan Nurhadi bisa
dituntut lantaran dua alasan di bawah ini:
Wartawan D, Nurhadi melanggar privasi Angin dan
tidak etis.
Wartawan A, Nurhadi tidak membawa kartu pers
saat liputan.
Ada beberapa pasal yang tertera pada kode etik jurnalistik
yang bisa dijadikan sebagai acuan, panduan dan tolak ukur dalam menangani kasus
kekerasan yang dialami jurnalis Tempo, Nurhadi.
Menurut saya pribadi, yang dilakukan Nurhadi
sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik yang berlaku. Terlebih, Nurhadi
melakukan tugasnya sebagai jurnalis secara profesional. Hal ini sesuai dengan
pasal-pasal berikut:
Berdasarkan kode etik wartawan, pada pasal 1
berbunyi, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
d.Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat
secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain”.
Tak hanya pasal 1, didukung dengan pasal 6 yang
berisi, “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima
suap. Penafsiran a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang
mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas
sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. b. Suap adalah segala
pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang
mempengaruhi independensi”.
Terakhir, pasal 9. Dalam pasal ini dijelaskan
jika wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran a. Menghormati hak
narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. b. Kehidupan pribadi
adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait
dengan kepentingan publik.
Dari ketiga pasal di atas, secara jelas dan
gamblang bisa dilihat jika praktik jurnalistik yang dilakukan Nurhadi tidak
bersebrangan dengan kaidah kode etik yang ada. Nurhadi melakukan liputan di
acara nikahan anak Angin Prayitno Aji dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai
jurnalis demi kepentingan publik. Di mana Nurhadi ingin memastikan keberadaan
Angin yang dinyatakan sebagai terduga tersangka kasus korupsi suap pajak.
Sehingga Nurhadi tidak memiliki ujuan
menyalahgunakan profesinya untuk keuntungan pribadinya. Terlebih beriktikad
buruk dengan merugikan pihak lain. Yang menjadi tolak ukur adalah kepentingan
publik yang perlu digaris bawahi.
Publik perlu tahu kasus korupsi yang menjerat
Angin Prayitno Aji. Sehingga privasi Angin di sini boleh untuk dikulik. Toh,
Nurhadi tidak mempublish foto itu untuk diterbitkan. Nurhadi hanya mengirim
foto tersebut ke redaksi untuk memastikan keberadaan Angin.
Nurhadi pun menolak saat diberi uang Rp 600
ribu sebagai kompensasi atas perampasan dan pengrusakan alat liputan. Sehingga
bisa disimpulkan jika Nurhadi menolak suap atas dalih kompensasi untuk alat
liputan. Uang ini bisa dikategorikan suap lantaran bisa mempengaruhi
independensi Nurhadi. Sebab, Nurhadi bisa saja tergiur tidak melanjutkan
liputan jika menerima uang tersebut.
Sementara, Nurhadi tidak menggunakan id pers
karena dia sadar dia sedang melakukan proses liputan investigasi. Di mana, jika
sejak awal jika dia menggunakan kartu pers jelas dia akan susah masuk ke dalam.
Dalam proses investigasi sendiri wartawan memiliki taktik dan trik tertentu
agar bisa mendapatkan informasi dan data yang akurat. Bahkan penyamaran pun
sah-sah saja dilakukan. Kekeliruan yang terjadi adalah kekerasan verbal dan
fisik yang dilakukan untuk menghalang-halangi tugas Nurhadi. Ini jelas bertolak
belakang dengan undang-undang pers No 40 Tahun 1999.
Pada Pasal 18 Ayat (1) yang menyebutkan, bahwa
setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2)
dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Tak heran banyak pihak mengadvokasi kasus
kekerasan yang dialami Nurhadi ini. Mulai dari LBH Pers, Kontras, hingga
Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Hal ini tentunya karena Nurhadi sudah
mengikuti kode etik dengan baik dan menjalankan tugasnya secara profesional.
Sayangnya dalam praktiknya Nurhadi mengalami kekerasan fisik dan verbal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar