Jumat, 30 April 2021

Tugas Kuliah: Analisis Polemik Kasus Kekerasan Jurnalis Tempo Nurhadi

 

Kontroversi Kasus Kekerasan yang Dialami Nurhadi, Jurnalis Tempo saat liputan berkaitan kasus korupsi, tepatnya suap yang dilakukan oleh terduga Angin Prayitno Aji, Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu.

 

Ada dua pendapat yang menyatakan Nurhadi bisa dituntut lantaran dua alasan di bawah ini:

Wartawan D, Nurhadi melanggar privasi Angin dan tidak etis.

Wartawan A, Nurhadi tidak membawa kartu pers saat liputan.

 

Ada beberapa pasal yang tertera pada kode etik jurnalistik yang bisa dijadikan sebagai acuan, panduan dan tolak ukur dalam menangani kasus kekerasan yang dialami jurnalis Tempo, Nurhadi.

Menurut saya pribadi, yang dilakukan Nurhadi sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik yang berlaku. Terlebih, Nurhadi melakukan tugasnya sebagai jurnalis secara profesional. Hal ini sesuai dengan pasal-pasal berikut:

Berdasarkan kode etik wartawan, pada pasal 1 berbunyi, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

d.Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain”.

Tak hanya pasal 1, didukung dengan pasal 6 yang berisi, “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi”.

Terakhir, pasal 9. Dalam pasal ini dijelaskan jika wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Dari ketiga pasal di atas, secara jelas dan gamblang bisa dilihat jika praktik jurnalistik yang dilakukan Nurhadi tidak bersebrangan dengan kaidah kode etik yang ada. Nurhadi melakukan liputan di acara nikahan anak Angin Prayitno Aji dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai jurnalis demi kepentingan publik. Di mana Nurhadi ingin memastikan keberadaan Angin yang dinyatakan sebagai terduga tersangka kasus korupsi suap pajak.

Sehingga Nurhadi tidak memiliki ujuan menyalahgunakan profesinya untuk keuntungan pribadinya. Terlebih beriktikad buruk dengan merugikan pihak lain. Yang menjadi tolak ukur adalah kepentingan publik yang perlu digaris bawahi.

Publik perlu tahu kasus korupsi yang menjerat Angin Prayitno Aji. Sehingga privasi Angin di sini boleh untuk dikulik. Toh, Nurhadi tidak mempublish foto itu untuk diterbitkan. Nurhadi hanya mengirim foto tersebut ke redaksi untuk memastikan keberadaan Angin.

Nurhadi pun menolak saat diberi uang Rp 600 ribu sebagai kompensasi atas perampasan dan pengrusakan alat liputan. Sehingga bisa disimpulkan jika Nurhadi menolak suap atas dalih kompensasi untuk alat liputan. Uang ini bisa dikategorikan suap lantaran bisa mempengaruhi independensi Nurhadi. Sebab, Nurhadi bisa saja tergiur tidak melanjutkan liputan jika menerima uang tersebut.

Sementara, Nurhadi tidak menggunakan id pers karena dia sadar dia sedang melakukan proses liputan investigasi. Di mana, jika sejak awal jika dia menggunakan kartu pers jelas dia akan susah masuk ke dalam. Dalam proses investigasi sendiri wartawan memiliki taktik dan trik tertentu agar bisa mendapatkan informasi dan data yang akurat. Bahkan penyamaran pun sah-sah saja dilakukan. Kekeliruan yang terjadi adalah kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan untuk menghalang-halangi tugas Nurhadi. Ini jelas bertolak belakang dengan undang-undang pers No 40 Tahun 1999.

Pada Pasal 18 Ayat (1) yang menyebutkan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

Tak heran banyak pihak mengadvokasi kasus kekerasan yang dialami Nurhadi ini. Mulai dari LBH Pers, Kontras, hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Hal ini tentunya karena Nurhadi sudah mengikuti kode etik dengan baik dan menjalankan tugasnya secara profesional. Sayangnya dalam praktiknya Nurhadi mengalami kekerasan fisik dan verbal.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar