Minggu, 22 Agustus 2021

Tugas Opini Reporting 2 : Hujatan Netizen Milenial di Medsos, Kritis atau Sensasi


 

Hujatan Netizen Milenial di Medsos, Kritis atau Sensasi?

Ilustrasi kritik di media sosial (Foto: google)


Pada awal Juni 2021 lalu, jagat dunia maya gempar. Sinetron Zahra yang tayang di Indonesiar ramai dibicarakan publik. Tagar Zahra pun sempat menjadi topik populer di media sosial Twitter dengan ribuan cuitan. Netizen menyoroti adegan ranjang yang dilakukan oleh kedua pemain utamanya. Adalah Tirta dan Zahra.

Dikisahkan Tirta adalah pemilik kebun teh yang menjadi bos ayah Zahra. Karena memiliki kekayaan yang melimpah, Tirta memiliki dua orang istri. Yaitu Ratu dan Putri. Suatu hari, ayah Zahra terpaksa utang ke Tirta. Lantaran tidak bisa membayar, Tirta meminta ayah Zahra melunasi utangnya dengan menikahkannya dengan Zahra yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Zahra awalnya menolak. Namun, karena tidak memiliki pilihan lain Zahra terpaksa menerima opsi tersebut. Akhirnya Zahra menjadi istri ketiga Zahra. Tirta diperankan oleh Panji Saputra yang dalam dunia nyata berusia 39 tahun. Sedangkan Zahra dimainkan Lea Chiarachel Forneaux, remaja blasteran Indonesia-Prancis (14 tahun).

Mengetahui fakta ini warganet murka. Adegan ranjang yang Tirta dan Zahra lakukan dalam sinetron dianggap tidak etis. Bahkan, para peselancar internet itu menganggap Zahra mengkampanyekan pedofil dan poligami. Akibatnya netizen membanjiri kolom komentar kanal Youtube Indosiar dengan hujatan.

Hal serupa ditemuka di media sosial berlogo burung berkicau, di sana penuh aduan para warganet. Mereka meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turun tangan. Tak berselang lama, KPI memanggil pihak Indosiar. Pemeran Zahra akhirnya diganti dengan aktris yang usianya di atas 18 tahun. 

Yang menjadi pertanyaan, apakah hujatan warganet tersebut merupakan sebuah bukti nalar kritis para milenial? Ataukah itu hanyalah sebuah sensasi? Kenapa milenial yang disinggung? Berdasarkan riset dari The Millenial Generation Research Review, milenial adalah generasi yang lahir pada tahun 1980-1999. Generasi ini lahir pada masa teknologi tumbuh subur di Indonesia. Pemanfaat teknologi terbiasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ketergantungan pada ‘gadget’ dianalogikan seperti bernafas bagi mereka.

 

Generasi Terbuka, Bebas, Kritis, dan Berani

Lantaran paparan teknologi intensitasnya lebih tinggi jika dibandingkan generasi pendahulunya, misalnya saja ‘baby boomer’ yang lahir pada era setelah perang dunia kedua (1946-1964) hal ini berpengaruh pada pola pikir milenial. Mereka memiliki karakter yang disebut boundary less alias tak mengenal batas. Akibatnya generasi ini cenderung terbuka, bebas, kritis, berani, dan toleran. Tak hanya itu nilai positif lainnya yang mereka miliki adalah perasaan ingin terhubung, kreatif, dan aktif memakai teknologi.

Kembali ke hujatan yang mereka lontarkan di media sosial (medsos), menurut saya itu bukanlah sensasi belaka. Melainkan contoh nyata kekritisan milenial zaman now. Bukan tanpa alasan, jika kita menengok ke belakang pada tahun 2002 ada sinetron dengan tema serupa. Judulnya ‘pernikahan dini’ yang diperankan penyanyi Agnez Mo yang kala itu masih 15 tahun dan Sahrul Gunawan berusia 25 tahun.

Dulu, media sosial penggunaannya belum semasif sekarang. Sehingga belum ada wadah yang tepat untuk menampung luapan ekspresi dan aspirasi para netizen. Berbeda dengan sekarang. Terlebih generasi ‘baby boomer’ menganut ideologi konservatif yang tidak menyukai kritik dan konflik. Sehingga mungkin mereka memilih diam. Atau mungkin menyelesaikan masalah secara diplomatis.

Saya sebut milenial kritis lantaran berani dan tanggap dalam menyikapi fenomena yang terjadi saat ini. Netizen merasa bebas berekspresi dengan menuliskan segala pemikiran mereka. Mereka mulai melek dan tanggap, warganet pikirannya sudah terbuka. Mereka tidak bisa menoleransi poligami dan pedofil, kedua isu yang masih marak di negeri ini.

Akhirnya mereka memprotes dengan menyuarakan suaranya melalui platform medsos agar pihak berwenang pada bidang penyiaran menanggapi. Bak gayung bersambut, KPI sigap dan bertindak cepat agar bola panas yang bergulir tidak sampai meledak. Langkah milenial ini didengar. Satu perubahan membangun pun berhasil terwujud.

Jadi, aksi netizen di atas merupakan buah dari berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang ditemukan oleh Richard W Paul. Dalam bukunya yang berjudul Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, berpikir kritis adalah proses disiplin-intelektual yang menuntut individu terampil dan aktif dalam berbagai aspek. Mulai dari memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi informasi berdasarkan observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, hingga komunikasi yang dilakukan.

Warganet menganalisis, lalu mengevaluasi nilai pedofil dan poligami dalam sinetron Zahra berdasarkan observasi dan pengalaman, kemudian mereka mengambil tindakan dengan menyatakan ketidaksetujuannya.

 

 




 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar