Hujatan
Netizen Milenial di Medsos, Kritis atau Sensasi?
Ilustrasi kritik di media sosial
(Foto: google)
Pada
awal Juni 2021 lalu, jagat dunia maya gempar. Sinetron Zahra yang tayang di
Indonesiar ramai dibicarakan publik. Tagar Zahra pun sempat menjadi topik
populer di media sosial Twitter dengan ribuan cuitan. Netizen menyoroti adegan
ranjang yang dilakukan oleh kedua pemain utamanya. Adalah Tirta dan Zahra.
Dikisahkan
Tirta adalah pemilik kebun teh yang menjadi bos ayah Zahra. Karena memiliki
kekayaan yang melimpah, Tirta memiliki dua orang istri. Yaitu Ratu dan Putri.
Suatu hari, ayah Zahra terpaksa utang ke Tirta. Lantaran tidak bisa membayar,
Tirta meminta ayah Zahra melunasi utangnya dengan menikahkannya dengan Zahra
yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Zahra
awalnya menolak. Namun, karena tidak memiliki pilihan lain Zahra terpaksa
menerima opsi tersebut. Akhirnya Zahra menjadi istri ketiga Zahra. Tirta
diperankan oleh Panji Saputra yang dalam dunia nyata berusia 39 tahun.
Sedangkan Zahra dimainkan Lea Chiarachel Forneaux, remaja blasteran Indonesia-Prancis
(14 tahun).
Mengetahui
fakta ini warganet murka. Adegan ranjang yang Tirta dan Zahra lakukan dalam
sinetron dianggap tidak etis. Bahkan, para peselancar internet itu menganggap
Zahra mengkampanyekan pedofil dan poligami. Akibatnya netizen membanjiri kolom
komentar kanal Youtube Indosiar dengan hujatan.
Hal
serupa ditemuka di media sosial berlogo burung berkicau, di sana penuh aduan para
warganet. Mereka meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turun tangan. Tak berselang lama, KPI
memanggil pihak Indosiar. Pemeran Zahra akhirnya diganti dengan aktris yang
usianya di atas 18 tahun.
Yang
menjadi pertanyaan, apakah hujatan warganet tersebut merupakan sebuah bukti
nalar kritis para milenial? Ataukah itu hanyalah sebuah sensasi? Kenapa
milenial yang disinggung? Berdasarkan riset dari The Millenial Generation
Research Review, milenial adalah generasi yang lahir pada tahun 1980-1999.
Generasi ini lahir pada masa teknologi tumbuh subur di Indonesia. Pemanfaat
teknologi terbiasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
ketergantungan pada ‘gadget’ dianalogikan seperti bernafas bagi mereka.
Generasi
Terbuka, Bebas, Kritis, dan Berani
Lantaran
paparan teknologi intensitasnya lebih tinggi jika dibandingkan generasi
pendahulunya, misalnya saja ‘baby boomer’ yang lahir pada era setelah
perang dunia kedua (1946-1964) hal ini berpengaruh pada pola pikir milenial.
Mereka memiliki karakter yang disebut boundary less alias tak mengenal
batas. Akibatnya generasi ini cenderung terbuka, bebas, kritis, berani, dan toleran.
Tak hanya itu nilai positif lainnya yang mereka miliki adalah perasaan ingin terhubung,
kreatif, dan aktif memakai teknologi.
Kembali
ke hujatan yang mereka lontarkan di media sosial (medsos), menurut saya itu bukanlah
sensasi belaka. Melainkan contoh nyata kekritisan milenial zaman now. Bukan
tanpa alasan, jika kita menengok ke belakang pada tahun 2002 ada sinetron
dengan tema serupa. Judulnya ‘pernikahan dini’ yang diperankan penyanyi Agnez
Mo yang kala itu masih 15 tahun dan Sahrul Gunawan berusia 25 tahun.
Dulu,
media sosial penggunaannya belum semasif sekarang. Sehingga belum ada wadah
yang tepat untuk menampung luapan ekspresi dan aspirasi para netizen. Berbeda
dengan sekarang. Terlebih generasi ‘baby boomer’ menganut ideologi
konservatif yang tidak menyukai kritik dan konflik. Sehingga mungkin mereka
memilih diam. Atau mungkin menyelesaikan masalah secara diplomatis.
Saya
sebut milenial kritis lantaran berani dan tanggap dalam menyikapi fenomena yang
terjadi saat ini. Netizen merasa bebas berekspresi dengan menuliskan segala
pemikiran mereka. Mereka mulai melek dan tanggap, warganet pikirannya sudah
terbuka. Mereka tidak bisa menoleransi poligami dan pedofil, kedua isu yang
masih marak di negeri ini.
Akhirnya
mereka memprotes dengan menyuarakan suaranya melalui platform medsos agar pihak
berwenang pada bidang penyiaran menanggapi. Bak gayung bersambut, KPI sigap dan
bertindak cepat agar bola panas yang bergulir tidak sampai meledak. Langkah milenial
ini didengar. Satu perubahan membangun pun berhasil terwujud.
Jadi,
aksi netizen di atas merupakan buah dari berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang ditemukan oleh Richard W Paul. Dalam bukunya yang berjudul
Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, berpikir kritis
adalah proses disiplin-intelektual yang menuntut individu terampil dan aktif
dalam berbagai aspek. Mulai dari memahami, mengaplikasikan, menganalisis,
mensintesakan, dan/atau mengevaluasi informasi berdasarkan observasi,
pengalaman, refleksi, penalaran, hingga komunikasi yang dilakukan.
Warganet
menganalisis, lalu mengevaluasi nilai pedofil dan poligami dalam sinetron Zahra
berdasarkan observasi dan pengalaman, kemudian mereka mengambil tindakan dengan
menyatakan ketidaksetujuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar